Wednesday, May 28, 2008

Tepi ladang Crysant



katanya aku bisa menerawang
mereka bilang aku buaya dekil
terawang panjang bukan
rok shifon yang menerawang;
lantas keduanya dari tuan setan,
siapa memburai isi pikiran,
menjamah isi parkinson
tremor pada tangan tangan
menjadi warna dalam dalam
sendiri berdiri..
duduk tenggelam
atau mati penasaran
sama seperti hantu hantu
menertawai aku seolah aku
bisa menerawang
itu seperti
katanya aku bisa menerawang

Tuesday, May 27, 2008

beranda tampak tak terawat



biarkan mereka pulang
seperti pulang saat ada
memeluk  cangkir teh panas
namun hanya bingkai
kini terpajang di ruang keluarga;
dan ingatan mengiris
aku terlalu tua untuk menangis

beranda tampak tak terawat,
pohon belimbing dimuka rumah
dan tikus tikus yang menggali tanah,
aku rindu pulang
seperti membiarkan
biarkan mereka pulang
seperti pulang saat ada

DIBAWAH POHON KERSEN*(lagi)

Kumulai lagi dari hitungan empat, semua sunyi tak bergeming seperti hening yang menggerogoti walaupun seharusnya pagi ini dan memang cerah ceria tidak seperti kemarin. Burung- burung sudah berterbangan, lincah kaki jangkrik mulai beranjak dari padang rumput luas yang ditanami crysan musim hujan ini. Kuli-Kuli dan Petani sudah bekerja sebagaimana mereka harus bekerja, sementara mandor bangunan sedang me nunjuk kesana sini dengan mulut mengepul egois dibawah kumis hitam sebesar gagang telepon. Biasanya hari gerimis, aku mengharap hari ini seharusnya diawali dengan mendung yang gelap dan udara dingin. Mungkin ini yang membuat aku merasa dingin dan sepi diantara dua gunung besar yang mengapit. Seperti wacana konvensional aku ha rus memulai narasi ini dengan deskripsi lingkungan yang detail, ya aku lebih suka jika ini disebut minor detail saja. Aku ingin merubah sudut pandang mengenai embun meng gantung dirumput pendek depan lapangan luas itu, tapi tetap saja keinginan menjadi aku sebagai orang pertama dan narasi pencerita tidak bisa tergantikan dengan kerendahan hati menerima peran yang aku rasa semakin absurd.
Seperti layaknya pemain opera, tapi bukan tokoh utama, tokoh pendukung yang remeh temeh, atau sekedar figuran lalu lalang orang dipasar dalam sebuah sinetron. Sempat tepikir kalau saat ini adalah babak baru dalam skenario minor (lagi), setelah sekian lama akhirnya aku kembali menyapa partikel partikel (kertas) buram untuk kem bali menuliskan tertutupnya gerbang kayu dan asap dalam gerbong yang sudah menung gu. Sendiri menjejaki coklat debu yang memburu dibelakang gudang dan pohon kersen yang tidak kutoleh untuk mengucapkan selamat tinggal, air mata yang menetes telah ter balut debu dan jatuh ketanah sebagai batu, seangkuh itukah aku menatap tanah leluhur yang membuat kini aku ada? Mungkin rindang pohon jati di sudut jalan itu juga yang membuat kakekku terbuai akan angin semilir yang mampu menjatuhkan helaian daun pe tai berterbangan, mungkin ini juga rasanya musim gugur di Eropa, duduk di kafe dengan payung pantai dan Violist memainkan lagu Autumn Leaf, tapi mataku terbuka dan ini adalah Jawa bung!dan aku dalam detik terakhir menghirup sejuknya aroma pohon jati dan daun petai yang gugur menghapiri wajahku.
Hanya mikro detik untuk mengenang semua yang terjadi, seperti masa saat mengguyur kepala ketika mandi dan terbuka mata kau sudah berada ditempat lain, betapa menyeramkan ketika kita bisa diambil kapan saja dalam kecepatan yang dahsyat. Mungkin ini salah satu alasan phobia akan mandi dengan kegiatan yang tradisional. Ku ping ini saja masih terdengung gamelan yang ada dipojok ruang besar gedung Belanda. Agus bilang dahulu tempat ini pernah jadi sasana tinju sebelum berkamuflase menjadi sarang waria. Suara suara treble wanita wanita yang berbincang dalam bahasa asing (pada mulanya) masih terasa mengisi ruangan besar hingga langit langitnya yang tinggi dan pada tembok biru yang tergantung Garuda, padahal tak jauh dari itu ada lukisan pemuda berbaju kuning menanggung hidupnya berkelana mengitari tempat baru seperti aku. Mungkin semua gelombang nada itu kini sudah menguap menjadi asap dan hantu yang menempati semua ruangan yang kudatangi dengan pertaruhan masa depan. Tentu saja bangunan ini sudah tidak akan melihat perjuangan sebagai hal yang besar karena gedung ini saksi dari perjuangan yang lebih besar untuk tanah yang mengubur kaki kakinya agar kokoh menantang angin. Saat ini coba lihat didepan gerbangnya yang tak berpintu, tu kang beca tengah duduk mencangkung bermain kartu, ibu ibu membuang sampah, waria waria mengintip malam, preman mengencingi halaman dan pria pria bejad mencari tempat kencing (waria).
Debu-debu ini mungkin bersaksi dan menggugat. Aku bertindak selayaknya pejabat obral janji, aah dan tak terasa ini setahun sudah panen kersen kulewatkan, kersen dekat kamar Slamet lebih lebat lagi, mungkin karena tak terjamah tangan tangan jahil Ferdiyan yang menghilang dan menjual harga diri karena sejumput uang koin untuk membeli susu anaknya yang mengurus, dia pun ikut mengurus karena kafein dan nikotin. Semua berkas setahun lalu masih kusimpan pada urutan paling bawah, karena setahun kemudian menemukan kardus kosong untuk kutinggali, padahal kardus kardus yang kubawa dari tempat ini terlalu banyak buatku dengan isi yang sangat banyak untuk ukuran kamarku yang sekarang. Saat saat tertunduk ingin menemui nisan Ibu, karena dalam hati aku bergumam “Ibu, aku tidak ingin pulang.” Seperti takut menghadapi semua lagi, karena aku ingin menjadi sosok baru tanpa bertopeng. Mungkin aku menatap pohon pohon yang berbaris dipinggir jalan koral ini untuk terakhir kalinya, karena pintu besar itu sudah ditutup, aku harus berkeliling melewati jalan belakang yang penuh dengan memori memori dan chemistry asing.
Mengapa rasanya seperti patah hati karena cinta, padahal dua minggu sebelum ini aku baik baik saja karena putus cinta, tapi melihat bayanganku di jendela yang berderet di siang ini saja aku merasa harus meneteskan air mata, untuk bayanganku sendiri, untuk imaji yang samar samar didalam ruangan yang berjendela, untuk hantu yang pernah ku potret diujung kamar, untuk kopi manis yang dibuatkan Slamet setiap pagi dalam cang kir hijau, untuk rawon dan makanan sahur yang dingin, untuk senyum Mas Tar yang arif, untuk cemoohanku pada Polisi dengan kepala bagol, dan untuk nyawaku yang tertinggal di kursi kerja depan komputer. Memang sudah selayaknya aku menangis karena terusir dari tanah leluhur sendiri.
Aku mengusap mata yang kulitnya terkelupas karena melihat hantu, jelas aku akan bertemu hantu lain di tanah kelahiran nanti, tapi jelas nanti aku hanya akan ber teman dengan hantu dan bayangan, sisanya tawa dan tangis anak anak kecil. Terlalu ironi untuk merasakan hal ini, langkahku tidak berat tapi nyawaku masih tertinggal didalam, walau raga telah memanggilnya tapi dia hanya berjalan perlahan menunduk lesu mening galkan kursi depan komputer itu, mengunci lemari besi diruangan sebelah dan menoleh lagi sambil memegang pintu koboi dekat mushola dan dapur sebelum akhirnya menutup pintu belakang, perlahan dan kembali pada rangkulan ragaku. Begitupun dari kamar se belah muncul lagi jiwaku yang lain tampak matanya memerah meninggalkan kasur yang tergeletak kotor di ubin tegel, semua kembali pada raga tanpa bicara. Hantu hantu atas na maku bermunculan dari semua ruangan tidak bisa mendongakkan kepala, semua tertuduk melihat tanah coklat koral berdebu, semua hadir dengan langkah gontai semua berkumpul dan kembali memeluk aku dan ragaku yang sudah siap untuk bangkit menatap jalan keluar jauh disana ditempat tukang beca tengah duduk mencangkung bermain kartu, ibu ibu membuang sampah, waria waria mengintip malam, preman mengencingi halaman dan pria pria bejad mencari tempat kencing (waria).
Sinyal kereta telah berbunyi, tapi aku diam tak beranjak, karena aku pulang bu kan untuk kereta besi yang berjejal dengan harapan semua orang untuk merubah arah si nar matahari. Kerumunan manusia seperti menunggu lotere atau perasaan selega menunggu istri istri melahirkan anak dengan selamat. Semua memang tak secerah hari ini jika ku ingat setahun lalu. Aku berusaha membangun imaji scratch seperti dokumenter film film tua dengan warna sephia dan resolusi rendah, tapi mengapa rasanya semua menjadi diam dalam aku menjelang pulang, kereta terhenti bersuara, angin yang bersorak seperti supporter sepak bola dalam liga ngawur tiba tiba hanya berdesis perlahan hilang, debu deubu tidak lagi bergumul, pohon pisang tidak bergerak lagi, warung Bu Budi hanya telihat kosong, dan ini benar benar membuat aku bingung tidak hanya dilema namun, tempat penuh emosi ini menjadi sangat asing karena tidak ada siapapun disekitar bahkan tukang beca jauh diujung pandanganku pun sekarang sudah tidak ada semua tampak lengang, kios kios buku bekas disebelah jalan sangat hening, angkutan yang berlalu lalang tiba tiba sirna, aku tidak habis pikir dimana mereka semua. Aku berlari ke belakang dan meninggalkan semua tas dan kardus begitu saja, namun sama halnya yang kutemui hanya sepi, baru saja kudengarkan suara sapu lidi Mbah menyapu halaman, tapi kini hanya sapu lidi yang tergeletak tidak bergerak.(Sempat ke WC belakang untuk kencing sejenak sebelum meneruskan rasa heran yang berlebihan seperti ini). Apakah aku harus terusir dengan cara ini? Sudahlah pemikiran logis lebih mendominasi sehingga aku kembali menjemput tas dan semua kardus untuk segera pulang. Aku menyeret nyeret beberapa kardus untuk bisa sampai ke muka jalan raya. Dan memang tidak seperti biasanya semua orang menyapa ramah dan mengulurkan tangan tanpa pamrih, tapi tiada seorang pun kini kutemui, sangat sepi. Hingga sampai diujung jalan aku menatap warung tinju diseberang untuk hanya sekedar tersenyum mengingat kejadian perkelahian suami istri pedagang mie rebus didepan pembeli, mungkin itulah awalnya aku menyebut warung tinju atau warung gelut untuk tempat itu. Senyumku tak berbalas karena benar benar hanya kabut dan desis angin perlahan dalam penglihatan. Patung Durga yang dirobohkan kurcaci yang ada di tengah jalan hanya menyisakan wajah durga yang merana karena badannya tertutup kabut. Aku tidak bisa melihat terlalu jelas karena jarak pandang sangat pendek, terasa sangat dingin menusuk dan pada saat aku harus mengambil keputusan un tuk segera meninggalkan semua bawaan dan mencari tahu mengapa semua menjadi bisu, apakah aku yang kini menjadi tuli?apakah hanya suara hati saja yang terdengar hingga su ara aku berteriak hilang hanya menyisakan pegal pegal pada otot leher?aku berteriak na mun tiada suara, tidak ada gaung atau suara yang keluar, aku memang seperti tuli, hanya berbicara dalam hati. Aku berjalan tergesa hingga kolam di alun alun bunder, tidak ada air mancur seperti biasanya, teratai teratai diam dan tidak ada tentara menjaga posnya, se kolah yang ramai pedagang hanya sunyi meninggalkan gerobak gerobak makanan tanpa manusia. Memang pagi ini menjadi dingin dengan semua perubahan yang drastis. Masih kuingat dekat bundaran ini kulitku terbakar hanya untuk mendapatkan potret pembalap yang jatuh, padahal semua yang kulakukan tidak ada kaitannya dengan naskah dalam komputer redaktur. Terlalu banyak kenangan yang harus terhenti karena keheranan dan pasrah pada kesepian ini. Belum sempat aku berpikir untuk menentukan langkah aku te lah dihadapkan pada masalah besar yang membuat semua orang hilang dari muka bumi dan mungkin hanya aku saja yang menghuni dunia ini. Terkadang memang aku banyak berimajinasi tentang hal yang tidak mungkin seperti manusia terbang, pakaian plastik bening, ataupun tentang semua imajinasi yang terlalu gila untuk terjadi, namun jika ini benar benar terjadi padaku, tidak pernah kusiapkan mental untuk menerima semua ini seperti ketika kehilangan Ibuku dalam satu siang, pagi kemarinnya gelas besar coklat itu terisi teh tubruk, diaduk sendiri tangan ibuku dengan cinta dan kebanggaan akan anaknya yang akan berangkat ke tanah Uber Alles. Ya memang terlalu banyak kejutan dalam hidup yang memang tidak kita persiapkan untuk menerimanya seperti kematian. Seperti mati dalam hidup dan hidup dalam mati.
Aku memang sudah cukup gila atau schizophrenic karena mungkin telah nyaman dengan perilaku dan kehidupan sosial sendiri. Membawa ego ketingkat yang lebih tinggi seperti disumpal untuk hidup dalam dunia ideal. Tidak boleh protes atau mengemukakan pendapat, diam saja!diam itu emas!nikmati hidup saja, tutup mata dan tuli saja seperti sekarang.Seperti terus menerus memaksa rentanya jari jari ini, menjerumuskannya dalam langkah pertama pada labirin yang tidak pernah berujung, aku tidak bersenjata atau membawa lentera, menangis tiada guna. Lantas aku berjalan seperti tiada netra dalam indera. Mana gelap dan dimana malam, mana benderang dan titik pijar,mungkinkah ini hidup tak hidup? apa mungkin inikah hidup palsu seperti uang palsu dan cinta palsu?aku hanya terkenang betapa darah tercecer dari hidung secara sia sia saja (seperti aku). Aku pernah terserang bayangan ini, bingkai seperti memainkan refleksi bayangan dalam kaca. Toh, jika bayangan itu jelas, bayangan tetaplah bayangan dan konotasi dengan warna hitam, mengikuti dan berwujud tiada, seperti aku yang mencari dan menari dalam temaram bayangan, diujung menikam kegelisahan, menua dan berkarat, tapi bayangannya tetap berwujud tiada dan gelap hingga ujung ruangan.Tuhan aku ingin menghentikan tanganmu memainkan lampu berayun ayun dalam nafas benakku. Ya! Scenenya terlalu cepat berubah tanpa ada anti klimaks sebagai solusi dari semua permasalahan. Ikon, Jargon, Slogan ataupun logo tidak ada yang bisa mewakili perasaanku betapa Mahsyar yang dingin disegerakan untukku sebelum beranjak dari leluhur yang mewasiatkan sejengkal teritori yang membesar seperti kulit zupa zupa yang mengembang.
Sudah saatnya aku pulang, membawa harapan dan memori terhapus namun tak terhilangkan bayangannya, Erisa dan Roy seperti tersenyum melambaikan bendera dijendela jalan Arjuna yang tidak jauh dari Alun Alun, seperti bayangan melihat mereka masih bercengkerama, membuat potret potret gila dan bermain gitar hingga hantu hantu gedung tua Belanda itupun enggan mendengarkan lagu lagu kita. Semua kini sudah tiada dan hanya angin yang berdesir. Aku memang harus pulang, mengantar pada angka baru, mungkin misi di tanah leluhur telah selesai, tentang perjalanan itu, tentang pohon bambu, gedung gedung tua dengan hiasan barong Jawa, tentang pantai dan kursi kursi stadion yang berjejer, ya pulang pada pelukan tangis Sangkuriang dan senyum ramah tetumbuhan bukit diatas sebuah terminal. Tentu aku akan bercerita banyak pada teman dalam kardus kosong, ya diatas bukit itu aku akan bercerita walaupun aku tidak bisa membuat perahu seperti Nuh, tapi aku melihat lautan baru dengan warna warni, yang sebentar lagi turun hujan.


hujan

TUDUH part three

menjelang detik jarumnya bergetar, kepada yang berbahagia dan kepada yang bermuram durja, memendam rasa, hasrat membunuh yang tinggi, selagi aku mencaci dingin udara tanpa nikotin, memandang pohon tinggi di ujung bukit yang dulu menawan..dan bulan yang memudar..beberapa menuduh lagi, beberapa mencari selamat, beberapa menjilat pada ucapan yang mulai meninggi nadanya, rasanya enggan menarik nafas karena memang cover buku selalu menawan, selalu menarik, visual yang best tak mungkin teruk! (begitu mungkin orang malaysia mengatakan). kepada perjalanan menuju lentera terangnya lilin, semua usahamu tentu tak kan berujung jika kau tidak tahu bagaimana mencari lubang udara mengikuti gelembung gelembung dalam darahmu..jika memancing dengan harap, silahkan bergembira karena bukan ini permaksudan dan tujuan akhir dari perjalanan, jika iya bersoraklah hip hip huray untukmu sendiri, karena parade bergerak mundur menuju lorong lorong di istana yang tidak boleh dikunjungi (kecuali aku, karena aku punya kartu pers). Kepada pihak yang mengataiku sebagai cecunguk yang tak tentu arah seperti dirinya bergelimang waktu luang untuk berdansa dan sosialisasi ala masa kini. aku tidak sakit hati, aku tidak sakit hati..badai kali ini tidak dahsyat namun ironi dengan aku merebah pada pasir pasir terkikis seperti osteoporosis.terkikis sedikit, sedikit hanya membuat perasaan dahaga pada tengah siang, namun tetap terluka seperti mencari oase pada lautan, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api, awan kepada hujan...

January 23, 2007

ketika berbisik pada waktu yang berderik

ketika berbisik pada waktu yang berderik menapak pada udara yang mendesis tak henti bertanya pada diam, mencekam, diam, terdiam saat membuka mata aku tersudut pada tengah dimensi ruang tiga dimensi bersegi enam rupa melihat goresan pada warna warna seperti sprekrum dan hexagram yang membelit membelit menyalur salur dan alur titik titik merupa ketombe digital meradang menyerang pada visi tak berbingkai (kadang aku teringat sawah dekat bioskop galaxy) mengikat tangan, membelit leher dan membutakan kornea duduk tersungkur sekali lagi tersudut ditengah suara seperti surya surya sebelumnya, tertinggal suara suci melihat lengkuk batu yang kokoh menopang senja bukit bukit bertanam jagung muda kini menua semua masih dipelupuk beranda tak terasa sepuluh tahun memandang jembatan itu hanya untuk menanti pagi melihat cahaya

January 12, 2007

Belantara keringat pasar besar

Disiang hingga sore ini aku berada dalam belantara manusia yang memburu, manusia mencari manusia saling memburu, berteriak berpeluh mengejar bahagia hari raya, manusia disebuah kotak sesak saling berjejalan dan aku berada ditengah belantara dengan teman player mp3 aku berjalan setapak hingga akhirnya menemuka celah nafas disebalik jamban umum yang sangat semerbak aroma urinenya. ada asap mengepul, raungan anak menangis, ibu ibu berebut kain, pedagang es dengan lonceng yang tak henti ....ahh sesak menjelang lebaraaann!!

October 15, 2006

Berbaring

bermula dengan Sonic Youth, setelah dini hari ini aku melwatkan sujud subuh yang entah edisi ke berapa ini. Meronta seperti Lucifer terjerat ayat kursi. Melewatkan terik dengan alunan sembriwing dan aroma yang menghantarkan pada gemerincik urat urat dan cacing cacing yang berteriak, menuruni jutaan anak tangga hingga jembatan bertali baja itu menghampar dihadapan dua kaki, namun aku berpaling tanpa menginjakkan pada lapuk kayu penyangga, pada jalan yang menanjak player MP3 berteriak kencang pada siang yang terik, menuju bukit tempat orang orang berbaring dibawah kamboja. Suatu hari aku akan berbaring juga dan berkata" I wanna Lay like this forever" jika hari ini aku banyak berbuat baik, tentunya musim panen saat berbaring sangat menyenangkan

October 01, 2006

lantas...

dingin yang menusuk bulir bulir keringat dalam tanganku, seperti tidak seharusnya aku cukup bersuka cita disambut lotus menghampar, menyembul disana sini dekat tugu keramat depan balaikota dan air mancur yang berwarna warni (lagi). MEngusir dingin yang kini takkan NIkotin dalamku menyapanya, ah hidup baru tanpa asap..tapi lekas sendiri seperti ini, aku tetap dalam tanah mimpi ini sendiri hanya ingin menjadi aku, hanya menginginkanmu, dalam nostalgi..sendiri..tertawa sendiri, namun aku takkan menangis hanya memilin akar akar kecil dekat pintu masuk warung tiongkok yang didepannya ada lampion kuning. Seperti fLASh sb800 mengkilat dan menggeledek cepat namun tentu akses ini tidak secanggih kartu kunci hotel, selembar saja dapat membuka pintu. Ya bukan pintu hati karena telah menganga terbuka bukan seperti Grand Hyatt itu di Surabaya..

August 09, 2006

tempat baru pada pembaringan sore

Jembatan sepi itu tetap berdiri dalam renta menunggu mentari, terjejaki tradisional pemikiran orang yang menghormati, turun berkendaraan menuntun melewati sungai mengering. Memakai perhiasan tali tali baja dan tanjakan yang curam di sebelah rimbunnya pohon dan teramnya bambu bambu berwarna warni. Didepan pintu aku menatap jemuran handuk yang bergaris garis seperti garis lengkung senja dibelakanya yang berwarna jingga dan pohon palem yang bergoyangan. Merasakan semilir dan bergairah saat angin menjamah kulit mukaku. Tak perlu bersedih hati tuan dan nyonya, aku terbaring mengungkung diri dengan kesadaran, tanpa paksaanmu..aku terbaring sendiri disini (berteman kucing kecil dan Sprei Teletubies).

June 22, 2006

bersenandung, pada malam mencekam...

bersenandung, pada malam mencekam...
mencari jejamahan bulan muda mencampakkan jenari
menelusuri kembali lorong pada labirin hati
berteriak? ah diam saja!
hanya mencermati lekuk idealisme
satu persatu, kemana aku kini akan mengikuti
sementara antravecta pada otakku ini takkan dapat
bersenandung seperti
aku
bersenandung, pada malam mencekam


(aku tertunduk menapaki jalan malam malam di malang,
menggendong kamera, mencari view Tuhan)

June 09, 2006

tentang perjalanan

Perjalanan seperti melengking, menutup mata dan membuka, kemudian terdiam dan terbawa imajinasi yang melanglang seperti bebasnya bangau di tepian muara pantai utara. Sementara raga ini tepenjara dalam kotak besi raksasa seperti kaleng. Walau aku terselimuti merahnya kafan dan bantal lepek aku tetap menikmati kebebasan berkhayal tanpa batas. Tentang catwalk dengan pakaian plastik, tentang fiksi yang berintuisi, tentang liar hutan tanpa pemburu. Dan tentang lelahnya otot mata melihat dunia. Perjalanan seperti kelaparan duafa yang mencari haus akan tanah perantauan, dikelilingi ketidak tahuan , sampah dan tanda tanya. Dua species ular seperti phyton dan cobra yang saling berebut visi (kadang trailernya seperti bumper spot MTV) aaah racun serangga saja tidak cukup untuk meredam ambisi liar mereka. Perjalanan tentang gunung, jalan2 yang bersih, pohon bambu, gedung2 tua yang berserak dan pantai yang menghampar, aku ini seperti mencari cari tuhan dalam perjalanan, entah itu software ataupun idealisme yang disebut ego prosa atau apapun bentuknya. Berkata kata takkan menghibur jika saja perjalanan sepi ini ditempuhi sendiri. Kaki bernanah, kulit mata mengelupas, menertawai diri sendiri dan iringan musik musik kelompok purba, mungkin budak belian. Perjalanan melintasi malam malam yang asing, melalui cerobong cerobong yang mengepul, melebihi manusia berjumlah ribu dalam nikotin. Dan lampu lampu lentera nelayan kapital menghiasi beragamnya gelap kota yang berkelip tanpa surya. Seperti berputar pada kursi hitam di kantor sambil terperangah pada cacian dalam kertas dan kabel kabel yang menumpuk, lantas ditumpuk dan ditumpuk. Seperti dinginnya berangkas besi, angkuh menyimpan misteri Aku bermain ayunan Dan kulit mataku tetap mengelupas

June 05, 2006

the walking blues

Ketika seperti sebuah sore yang berkaca kaca, dan siang yang ditangisi haru kepergian orang tercinta yang diiring iring orang sekampung. Mereka menangis dalam suatu siang; aku ikut terenyuh melihat perpisahan mereka, saat duduk berhimpitan dalam kursi besi bersponsor obat sakit kepala, asap ini tak segera berhenti bergumul dan racunnya menghiasi perjalanan oksigen dalam serat pemikiran siang ini. Lagi lagi dalam sebuah siang yang segera beranjak sore. Kesalnya jika saja aku tidak bertanya kemana bis ini akan membawaku pergi, mungkin aku sudah terangkut bis yang sama dengan tujuan berbeda. Ya Jakarta! Bukan itu tujuan perjalanan panjang 18 jam kedepan ini, bukan itu dan sungguh tidak kudambakkan. Seperti pulang mendambakan sebuah accord minor dalam barisan panjang partitur lagu Blues. Bonny, Blues ini bukan untukmu lagi! Maaf Bon, biarkan saja siang ini aku menikmati Walking Blues Muddy Waters ini, dan bukan untukmu, walaupun sebenarnya sesaat lagi turning wheel bukan walking. Menuju matahari terbenam yang mirip koin perunggu sepanjang perjalananku yang selalu mengintip, kadang kadang bersembunyi, kadang seperti memainkan kakinya di air. Koin kuning yang membuat mabuk akan ekstasi dan sensasi buas melahap bukan karena keringat, namun karena ambisi.

Ketika satu sore lain, mungkin aku masih berseragam; pernah aku menonton sitkom amerika dimana saat itu aku harus mencerna ekstra karena keterbatasan retorika bahasa asingku ini, namun jelas kulihat dari gelagat bahasa tubuhnya bercerita padaku seperti ini :”oohh kill me, im so desperate, please kill me, im so lonely”. Ow kalau saja ternyata blues diidentikkan dengan 12 tangga nada dan lengkingan harmonica dalam cafĂ© yang temaram diisi orang yang pesimistik seperti itu. Is that the right images? They laugh at you! Menikmati idiom minor itu bukan lantas seperti seorang kekasih yang ditinggal pergi, lantas terlilit hutang sambil memendam rindu dan hasrat mengakhiri hidup dengan mereka reka cerita, meminta rasa iba dari orang yang mendekat. Sungguh bukan seperti itu!lebih berbahagialah penderita schizophrenia, dualisme yang mendekati puncak kesempurnaan rasa berhidup sebagai seorang manusia dan sosok kedua. Tentu saja twoface yang ingin aku ceritakan ini bukan masalah schizophrenia atau hanya sebuah judul film John Travolta dan Nicholas Cage (face off). Mungkin juga bukan harus seperti Dorna dalam hikayat wayang berwayang. Aku hanya ingin menulis, entah akan jadi apa setelah ini, mengikuti hasrat yang menggebu ini, membunuh kesepian dalam perjalanan 18 jam kedepan. Delapan roda kokoh berputaran, mungkin perjalanan akan segera dimulai. Menarik nafas dalam mata pengaruh Blues ini, walaupun sebenarnya aku rock n roll, memejam, berharap dan mengajak satu sisi diriku untuk selalu hidup bersama genre musik yang kuno. Seperti roda aku tidak mau dianggap mengekor trend. Aku sudah terlahir seperti ini. Tanya saja ibuku.
midday milkaholic

seperti eureka archimides, seperti kepala yang kejatuhan duren, seperti main ice skating dilempari singa lapar, pada ragu dan rasa menggelitik aku menahan diriku tetap ada dalam stagnasi baru yang ekstasi, melihat hidup artificial, diajarkan hidup oleh seslice saja optik lensa lensa yang tak berfaset, menggerakan jari jari tanganku akan melankolik hari siang ini, dimana anak anak meminum susu; masal dari satu pabrik. Oh mungkin ada yang berpura pura ataupun benar benar aku tak pernah tahu, hanya saja semua nampak dalam print out; kalkir
cahaya merah; ruangan sempit, gelap
termenung
(orang menyangka aku sedang mabuk)
Tuhan, aku mengeluh karena engkaulah raja bermahkota
atas kulit mataku yang mengelupas, sembab, lebam
atas kulit rambut yang berketombe dan cucian menumpuk
aku takkan memaki
bukan saatnya lari; tapi hadapi!
(aku memancangkan kaki dan memicingkan mata; membidik kearahmu)

May 15, 2006