Tuesday, May 27, 2008

DIBAWAH POHON KERSEN*(lagi)

Kumulai lagi dari hitungan empat, semua sunyi tak bergeming seperti hening yang menggerogoti walaupun seharusnya pagi ini dan memang cerah ceria tidak seperti kemarin. Burung- burung sudah berterbangan, lincah kaki jangkrik mulai beranjak dari padang rumput luas yang ditanami crysan musim hujan ini. Kuli-Kuli dan Petani sudah bekerja sebagaimana mereka harus bekerja, sementara mandor bangunan sedang me nunjuk kesana sini dengan mulut mengepul egois dibawah kumis hitam sebesar gagang telepon. Biasanya hari gerimis, aku mengharap hari ini seharusnya diawali dengan mendung yang gelap dan udara dingin. Mungkin ini yang membuat aku merasa dingin dan sepi diantara dua gunung besar yang mengapit. Seperti wacana konvensional aku ha rus memulai narasi ini dengan deskripsi lingkungan yang detail, ya aku lebih suka jika ini disebut minor detail saja. Aku ingin merubah sudut pandang mengenai embun meng gantung dirumput pendek depan lapangan luas itu, tapi tetap saja keinginan menjadi aku sebagai orang pertama dan narasi pencerita tidak bisa tergantikan dengan kerendahan hati menerima peran yang aku rasa semakin absurd.
Seperti layaknya pemain opera, tapi bukan tokoh utama, tokoh pendukung yang remeh temeh, atau sekedar figuran lalu lalang orang dipasar dalam sebuah sinetron. Sempat tepikir kalau saat ini adalah babak baru dalam skenario minor (lagi), setelah sekian lama akhirnya aku kembali menyapa partikel partikel (kertas) buram untuk kem bali menuliskan tertutupnya gerbang kayu dan asap dalam gerbong yang sudah menung gu. Sendiri menjejaki coklat debu yang memburu dibelakang gudang dan pohon kersen yang tidak kutoleh untuk mengucapkan selamat tinggal, air mata yang menetes telah ter balut debu dan jatuh ketanah sebagai batu, seangkuh itukah aku menatap tanah leluhur yang membuat kini aku ada? Mungkin rindang pohon jati di sudut jalan itu juga yang membuat kakekku terbuai akan angin semilir yang mampu menjatuhkan helaian daun pe tai berterbangan, mungkin ini juga rasanya musim gugur di Eropa, duduk di kafe dengan payung pantai dan Violist memainkan lagu Autumn Leaf, tapi mataku terbuka dan ini adalah Jawa bung!dan aku dalam detik terakhir menghirup sejuknya aroma pohon jati dan daun petai yang gugur menghapiri wajahku.
Hanya mikro detik untuk mengenang semua yang terjadi, seperti masa saat mengguyur kepala ketika mandi dan terbuka mata kau sudah berada ditempat lain, betapa menyeramkan ketika kita bisa diambil kapan saja dalam kecepatan yang dahsyat. Mungkin ini salah satu alasan phobia akan mandi dengan kegiatan yang tradisional. Ku ping ini saja masih terdengung gamelan yang ada dipojok ruang besar gedung Belanda. Agus bilang dahulu tempat ini pernah jadi sasana tinju sebelum berkamuflase menjadi sarang waria. Suara suara treble wanita wanita yang berbincang dalam bahasa asing (pada mulanya) masih terasa mengisi ruangan besar hingga langit langitnya yang tinggi dan pada tembok biru yang tergantung Garuda, padahal tak jauh dari itu ada lukisan pemuda berbaju kuning menanggung hidupnya berkelana mengitari tempat baru seperti aku. Mungkin semua gelombang nada itu kini sudah menguap menjadi asap dan hantu yang menempati semua ruangan yang kudatangi dengan pertaruhan masa depan. Tentu saja bangunan ini sudah tidak akan melihat perjuangan sebagai hal yang besar karena gedung ini saksi dari perjuangan yang lebih besar untuk tanah yang mengubur kaki kakinya agar kokoh menantang angin. Saat ini coba lihat didepan gerbangnya yang tak berpintu, tu kang beca tengah duduk mencangkung bermain kartu, ibu ibu membuang sampah, waria waria mengintip malam, preman mengencingi halaman dan pria pria bejad mencari tempat kencing (waria).
Debu-debu ini mungkin bersaksi dan menggugat. Aku bertindak selayaknya pejabat obral janji, aah dan tak terasa ini setahun sudah panen kersen kulewatkan, kersen dekat kamar Slamet lebih lebat lagi, mungkin karena tak terjamah tangan tangan jahil Ferdiyan yang menghilang dan menjual harga diri karena sejumput uang koin untuk membeli susu anaknya yang mengurus, dia pun ikut mengurus karena kafein dan nikotin. Semua berkas setahun lalu masih kusimpan pada urutan paling bawah, karena setahun kemudian menemukan kardus kosong untuk kutinggali, padahal kardus kardus yang kubawa dari tempat ini terlalu banyak buatku dengan isi yang sangat banyak untuk ukuran kamarku yang sekarang. Saat saat tertunduk ingin menemui nisan Ibu, karena dalam hati aku bergumam “Ibu, aku tidak ingin pulang.” Seperti takut menghadapi semua lagi, karena aku ingin menjadi sosok baru tanpa bertopeng. Mungkin aku menatap pohon pohon yang berbaris dipinggir jalan koral ini untuk terakhir kalinya, karena pintu besar itu sudah ditutup, aku harus berkeliling melewati jalan belakang yang penuh dengan memori memori dan chemistry asing.
Mengapa rasanya seperti patah hati karena cinta, padahal dua minggu sebelum ini aku baik baik saja karena putus cinta, tapi melihat bayanganku di jendela yang berderet di siang ini saja aku merasa harus meneteskan air mata, untuk bayanganku sendiri, untuk imaji yang samar samar didalam ruangan yang berjendela, untuk hantu yang pernah ku potret diujung kamar, untuk kopi manis yang dibuatkan Slamet setiap pagi dalam cang kir hijau, untuk rawon dan makanan sahur yang dingin, untuk senyum Mas Tar yang arif, untuk cemoohanku pada Polisi dengan kepala bagol, dan untuk nyawaku yang tertinggal di kursi kerja depan komputer. Memang sudah selayaknya aku menangis karena terusir dari tanah leluhur sendiri.
Aku mengusap mata yang kulitnya terkelupas karena melihat hantu, jelas aku akan bertemu hantu lain di tanah kelahiran nanti, tapi jelas nanti aku hanya akan ber teman dengan hantu dan bayangan, sisanya tawa dan tangis anak anak kecil. Terlalu ironi untuk merasakan hal ini, langkahku tidak berat tapi nyawaku masih tertinggal didalam, walau raga telah memanggilnya tapi dia hanya berjalan perlahan menunduk lesu mening galkan kursi depan komputer itu, mengunci lemari besi diruangan sebelah dan menoleh lagi sambil memegang pintu koboi dekat mushola dan dapur sebelum akhirnya menutup pintu belakang, perlahan dan kembali pada rangkulan ragaku. Begitupun dari kamar se belah muncul lagi jiwaku yang lain tampak matanya memerah meninggalkan kasur yang tergeletak kotor di ubin tegel, semua kembali pada raga tanpa bicara. Hantu hantu atas na maku bermunculan dari semua ruangan tidak bisa mendongakkan kepala, semua tertuduk melihat tanah coklat koral berdebu, semua hadir dengan langkah gontai semua berkumpul dan kembali memeluk aku dan ragaku yang sudah siap untuk bangkit menatap jalan keluar jauh disana ditempat tukang beca tengah duduk mencangkung bermain kartu, ibu ibu membuang sampah, waria waria mengintip malam, preman mengencingi halaman dan pria pria bejad mencari tempat kencing (waria).
Sinyal kereta telah berbunyi, tapi aku diam tak beranjak, karena aku pulang bu kan untuk kereta besi yang berjejal dengan harapan semua orang untuk merubah arah si nar matahari. Kerumunan manusia seperti menunggu lotere atau perasaan selega menunggu istri istri melahirkan anak dengan selamat. Semua memang tak secerah hari ini jika ku ingat setahun lalu. Aku berusaha membangun imaji scratch seperti dokumenter film film tua dengan warna sephia dan resolusi rendah, tapi mengapa rasanya semua menjadi diam dalam aku menjelang pulang, kereta terhenti bersuara, angin yang bersorak seperti supporter sepak bola dalam liga ngawur tiba tiba hanya berdesis perlahan hilang, debu deubu tidak lagi bergumul, pohon pisang tidak bergerak lagi, warung Bu Budi hanya telihat kosong, dan ini benar benar membuat aku bingung tidak hanya dilema namun, tempat penuh emosi ini menjadi sangat asing karena tidak ada siapapun disekitar bahkan tukang beca jauh diujung pandanganku pun sekarang sudah tidak ada semua tampak lengang, kios kios buku bekas disebelah jalan sangat hening, angkutan yang berlalu lalang tiba tiba sirna, aku tidak habis pikir dimana mereka semua. Aku berlari ke belakang dan meninggalkan semua tas dan kardus begitu saja, namun sama halnya yang kutemui hanya sepi, baru saja kudengarkan suara sapu lidi Mbah menyapu halaman, tapi kini hanya sapu lidi yang tergeletak tidak bergerak.(Sempat ke WC belakang untuk kencing sejenak sebelum meneruskan rasa heran yang berlebihan seperti ini). Apakah aku harus terusir dengan cara ini? Sudahlah pemikiran logis lebih mendominasi sehingga aku kembali menjemput tas dan semua kardus untuk segera pulang. Aku menyeret nyeret beberapa kardus untuk bisa sampai ke muka jalan raya. Dan memang tidak seperti biasanya semua orang menyapa ramah dan mengulurkan tangan tanpa pamrih, tapi tiada seorang pun kini kutemui, sangat sepi. Hingga sampai diujung jalan aku menatap warung tinju diseberang untuk hanya sekedar tersenyum mengingat kejadian perkelahian suami istri pedagang mie rebus didepan pembeli, mungkin itulah awalnya aku menyebut warung tinju atau warung gelut untuk tempat itu. Senyumku tak berbalas karena benar benar hanya kabut dan desis angin perlahan dalam penglihatan. Patung Durga yang dirobohkan kurcaci yang ada di tengah jalan hanya menyisakan wajah durga yang merana karena badannya tertutup kabut. Aku tidak bisa melihat terlalu jelas karena jarak pandang sangat pendek, terasa sangat dingin menusuk dan pada saat aku harus mengambil keputusan un tuk segera meninggalkan semua bawaan dan mencari tahu mengapa semua menjadi bisu, apakah aku yang kini menjadi tuli?apakah hanya suara hati saja yang terdengar hingga su ara aku berteriak hilang hanya menyisakan pegal pegal pada otot leher?aku berteriak na mun tiada suara, tidak ada gaung atau suara yang keluar, aku memang seperti tuli, hanya berbicara dalam hati. Aku berjalan tergesa hingga kolam di alun alun bunder, tidak ada air mancur seperti biasanya, teratai teratai diam dan tidak ada tentara menjaga posnya, se kolah yang ramai pedagang hanya sunyi meninggalkan gerobak gerobak makanan tanpa manusia. Memang pagi ini menjadi dingin dengan semua perubahan yang drastis. Masih kuingat dekat bundaran ini kulitku terbakar hanya untuk mendapatkan potret pembalap yang jatuh, padahal semua yang kulakukan tidak ada kaitannya dengan naskah dalam komputer redaktur. Terlalu banyak kenangan yang harus terhenti karena keheranan dan pasrah pada kesepian ini. Belum sempat aku berpikir untuk menentukan langkah aku te lah dihadapkan pada masalah besar yang membuat semua orang hilang dari muka bumi dan mungkin hanya aku saja yang menghuni dunia ini. Terkadang memang aku banyak berimajinasi tentang hal yang tidak mungkin seperti manusia terbang, pakaian plastik bening, ataupun tentang semua imajinasi yang terlalu gila untuk terjadi, namun jika ini benar benar terjadi padaku, tidak pernah kusiapkan mental untuk menerima semua ini seperti ketika kehilangan Ibuku dalam satu siang, pagi kemarinnya gelas besar coklat itu terisi teh tubruk, diaduk sendiri tangan ibuku dengan cinta dan kebanggaan akan anaknya yang akan berangkat ke tanah Uber Alles. Ya memang terlalu banyak kejutan dalam hidup yang memang tidak kita persiapkan untuk menerimanya seperti kematian. Seperti mati dalam hidup dan hidup dalam mati.
Aku memang sudah cukup gila atau schizophrenic karena mungkin telah nyaman dengan perilaku dan kehidupan sosial sendiri. Membawa ego ketingkat yang lebih tinggi seperti disumpal untuk hidup dalam dunia ideal. Tidak boleh protes atau mengemukakan pendapat, diam saja!diam itu emas!nikmati hidup saja, tutup mata dan tuli saja seperti sekarang.Seperti terus menerus memaksa rentanya jari jari ini, menjerumuskannya dalam langkah pertama pada labirin yang tidak pernah berujung, aku tidak bersenjata atau membawa lentera, menangis tiada guna. Lantas aku berjalan seperti tiada netra dalam indera. Mana gelap dan dimana malam, mana benderang dan titik pijar,mungkinkah ini hidup tak hidup? apa mungkin inikah hidup palsu seperti uang palsu dan cinta palsu?aku hanya terkenang betapa darah tercecer dari hidung secara sia sia saja (seperti aku). Aku pernah terserang bayangan ini, bingkai seperti memainkan refleksi bayangan dalam kaca. Toh, jika bayangan itu jelas, bayangan tetaplah bayangan dan konotasi dengan warna hitam, mengikuti dan berwujud tiada, seperti aku yang mencari dan menari dalam temaram bayangan, diujung menikam kegelisahan, menua dan berkarat, tapi bayangannya tetap berwujud tiada dan gelap hingga ujung ruangan.Tuhan aku ingin menghentikan tanganmu memainkan lampu berayun ayun dalam nafas benakku. Ya! Scenenya terlalu cepat berubah tanpa ada anti klimaks sebagai solusi dari semua permasalahan. Ikon, Jargon, Slogan ataupun logo tidak ada yang bisa mewakili perasaanku betapa Mahsyar yang dingin disegerakan untukku sebelum beranjak dari leluhur yang mewasiatkan sejengkal teritori yang membesar seperti kulit zupa zupa yang mengembang.
Sudah saatnya aku pulang, membawa harapan dan memori terhapus namun tak terhilangkan bayangannya, Erisa dan Roy seperti tersenyum melambaikan bendera dijendela jalan Arjuna yang tidak jauh dari Alun Alun, seperti bayangan melihat mereka masih bercengkerama, membuat potret potret gila dan bermain gitar hingga hantu hantu gedung tua Belanda itupun enggan mendengarkan lagu lagu kita. Semua kini sudah tiada dan hanya angin yang berdesir. Aku memang harus pulang, mengantar pada angka baru, mungkin misi di tanah leluhur telah selesai, tentang perjalanan itu, tentang pohon bambu, gedung gedung tua dengan hiasan barong Jawa, tentang pantai dan kursi kursi stadion yang berjejer, ya pulang pada pelukan tangis Sangkuriang dan senyum ramah tetumbuhan bukit diatas sebuah terminal. Tentu aku akan bercerita banyak pada teman dalam kardus kosong, ya diatas bukit itu aku akan bercerita walaupun aku tidak bisa membuat perahu seperti Nuh, tapi aku melihat lautan baru dengan warna warni, yang sebentar lagi turun hujan.


hujan

No comments: