Tuesday, May 27, 2008

the walking blues

Ketika seperti sebuah sore yang berkaca kaca, dan siang yang ditangisi haru kepergian orang tercinta yang diiring iring orang sekampung. Mereka menangis dalam suatu siang; aku ikut terenyuh melihat perpisahan mereka, saat duduk berhimpitan dalam kursi besi bersponsor obat sakit kepala, asap ini tak segera berhenti bergumul dan racunnya menghiasi perjalanan oksigen dalam serat pemikiran siang ini. Lagi lagi dalam sebuah siang yang segera beranjak sore. Kesalnya jika saja aku tidak bertanya kemana bis ini akan membawaku pergi, mungkin aku sudah terangkut bis yang sama dengan tujuan berbeda. Ya Jakarta! Bukan itu tujuan perjalanan panjang 18 jam kedepan ini, bukan itu dan sungguh tidak kudambakkan. Seperti pulang mendambakan sebuah accord minor dalam barisan panjang partitur lagu Blues. Bonny, Blues ini bukan untukmu lagi! Maaf Bon, biarkan saja siang ini aku menikmati Walking Blues Muddy Waters ini, dan bukan untukmu, walaupun sebenarnya sesaat lagi turning wheel bukan walking. Menuju matahari terbenam yang mirip koin perunggu sepanjang perjalananku yang selalu mengintip, kadang kadang bersembunyi, kadang seperti memainkan kakinya di air. Koin kuning yang membuat mabuk akan ekstasi dan sensasi buas melahap bukan karena keringat, namun karena ambisi.

Ketika satu sore lain, mungkin aku masih berseragam; pernah aku menonton sitkom amerika dimana saat itu aku harus mencerna ekstra karena keterbatasan retorika bahasa asingku ini, namun jelas kulihat dari gelagat bahasa tubuhnya bercerita padaku seperti ini :”oohh kill me, im so desperate, please kill me, im so lonely”. Ow kalau saja ternyata blues diidentikkan dengan 12 tangga nada dan lengkingan harmonica dalam cafĂ© yang temaram diisi orang yang pesimistik seperti itu. Is that the right images? They laugh at you! Menikmati idiom minor itu bukan lantas seperti seorang kekasih yang ditinggal pergi, lantas terlilit hutang sambil memendam rindu dan hasrat mengakhiri hidup dengan mereka reka cerita, meminta rasa iba dari orang yang mendekat. Sungguh bukan seperti itu!lebih berbahagialah penderita schizophrenia, dualisme yang mendekati puncak kesempurnaan rasa berhidup sebagai seorang manusia dan sosok kedua. Tentu saja twoface yang ingin aku ceritakan ini bukan masalah schizophrenia atau hanya sebuah judul film John Travolta dan Nicholas Cage (face off). Mungkin juga bukan harus seperti Dorna dalam hikayat wayang berwayang. Aku hanya ingin menulis, entah akan jadi apa setelah ini, mengikuti hasrat yang menggebu ini, membunuh kesepian dalam perjalanan 18 jam kedepan. Delapan roda kokoh berputaran, mungkin perjalanan akan segera dimulai. Menarik nafas dalam mata pengaruh Blues ini, walaupun sebenarnya aku rock n roll, memejam, berharap dan mengajak satu sisi diriku untuk selalu hidup bersama genre musik yang kuno. Seperti roda aku tidak mau dianggap mengekor trend. Aku sudah terlahir seperti ini. Tanya saja ibuku.
midday milkaholic

seperti eureka archimides, seperti kepala yang kejatuhan duren, seperti main ice skating dilempari singa lapar, pada ragu dan rasa menggelitik aku menahan diriku tetap ada dalam stagnasi baru yang ekstasi, melihat hidup artificial, diajarkan hidup oleh seslice saja optik lensa lensa yang tak berfaset, menggerakan jari jari tanganku akan melankolik hari siang ini, dimana anak anak meminum susu; masal dari satu pabrik. Oh mungkin ada yang berpura pura ataupun benar benar aku tak pernah tahu, hanya saja semua nampak dalam print out; kalkir
cahaya merah; ruangan sempit, gelap
termenung
(orang menyangka aku sedang mabuk)
Tuhan, aku mengeluh karena engkaulah raja bermahkota
atas kulit mataku yang mengelupas, sembab, lebam
atas kulit rambut yang berketombe dan cucian menumpuk
aku takkan memaki
bukan saatnya lari; tapi hadapi!
(aku memancangkan kaki dan memicingkan mata; membidik kearahmu)

May 15, 2006

No comments: